Jumat, 12 Juli 2013

PERANG DIPONEGORO


Perang besar di dunia tidak hanya terjadi di daratan Eropa saja sobat. Pada abad 19, berlangsung perang di jawa, antara 1825 hingga 1830. Untuk menumpas perang ini, sampai-sampai kas Pemerintah Hindia Belanda terkuras habis. Perang jawa merupakan pertempuran yang terjadi antara pasukan Beland di bawah pimpinan Jendral De Kock melawan penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Diponegoro.
Pangeran Diponegoro adalah putra Sultan Hamengkubuwono III dari selir Raden Ayu Mengkarawati-putri Bupati Pacitan. Semenjak kecil, diasuh oleh neneknya, Ratu Ageng di Tegalrejo. Konflik Pangeran Diponegoro dengan
Pemerintah Hindia Belanda bermula pada Mei 1825, saat pemerintah kolonial berencana membangun jalan untuk melancarkan ssarana transportasi dan militer di Yogyakarta. Pembangunan tersebut akan menggusur banyak lahan, termasuk tanah milik keluarga besar Pangeran Diponegoro di Tegalrejo, di tanah leluhur tersebut terdapat makam nenek moyang Pangeran Diponegoro. Untuk menyelesaikan masalah tanah itu, sebenarnya Residen Belanda, A.H.Smisaert mengundang Pangeran Diponegoro untuk menemuinya. Namun undangan itu ditolak mentah-mentah olehnya.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan pematokan di daerah yang dibuat jalan. Pematokan sepihak tersebut membuat Pangeran Diponegoro geram, lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mencabuti patok-patok itu. Melihat kelakuan Pangeran Diponegoro, Belanda mempunyai alasan untuk menangkap Diponegoro dan melakukan tindakan. Tentara meriam pun didatangkan ke kediaman Diponegoro di Tegalrejo. Pada tanggal 20 Juli 1825 perang Tegalrejo dikepung oleh serdadu Belanda.
Akibat serangan meriam, Pangeran Diponegoro besrta keluarganya terpaksa mengungsi karena ia belum mempersiapkan perang. Mereka pergi menyelamatkan diri menuju ke barat hingga ke Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, lalu meneruskan kearah selatan sampai ke Goa Selarong. Goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul ini, kemudian dijadikan sebagai basis pasukan.
Kemudian, Pangeran Diponegoro menghimpun kekuatan. Ia mendapat banyak dukugan dari beberapa bangsawan Yogyakarta dan Jawa Tengah yang kecewa dengan Sultan maupun Belanda. Salah satu bangsawan pengikut Diponegoro adalah Sentot Prawirodirjo seorang panglima muda yang tangguh di medan tempur.
Awalnya pertempyran dilakukan terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri, dan artileri oleh Belanda. Pihak Diponegoropun menanggapi dan berlangsunglahpertempuran sengit di kedua belah pihak. Medan pertempuran terjadi di puluhan kota dan di desa di seluruh Jawa.  Jalur-jalur logistik juga dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang.  Belanda menyiapkan puluhan kilang mesiu yang dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Mesiu dan peluru terus diproduksi saat peperangan berlangsung. Selain itu Belanda juga mengarahkan mata-mata utuk mencari informasi guna menyusunn setrategi perang.
Johannes Van Den Bosch
 
Selanjutnya Diponegoro beserta pengikutnya mengunakan strategi gerilya, yakni dengan cara berpencar, berpindah tempat lalu menyerang selagi musuh lengah. Setrategi ini sangat merepotkan tentara Belanda. Belum lagi Pangeran Diponegoro mendapat dukungan rakyat. Awlanya sendiri peperangan banyak terjadi di daerah barat kraton Yogyakarta seperti Kulonprogo, Bagelen, dan Lowano (Perbatasan Purworejo-Magelang). Perlawanan lalu berlanjut kedaerah lain: Gunung kidul, Madiun, Magetan, Kediri, dan sekitar Semarang.
Serangan-serangan besar dari pendukung Diponegoro biasanya dilakukan pada bulan-bulan penghujan karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan Belanda terhambat. Selain itu, penyakit malaria dan disentri turut melemahkan moral dan fisik pasukan Belanda.
Peritiwa penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Nicolaas Pieneman
 
Belanda kewalahan menhadapi perlawanan Diponegoro. Hingga akhirnya pada tahun 1827 pemerintah Hindia Belanda menerapkan setrategi jitu untuk mematahkan perlawanan gerilya ini. Belanda menerapakan setrategi Benteng Stelsel, benteng-benteng pertahanan dibangun dan dijaga terus-menerus setelah tentara Belanda berhasil menguasai daerah yang ditingalkan pasukan Diponegoro. Akibat Benteng Stelsel tersebut Pasukan Diponegorosemakin terjepit. Akhirnya pada tahun 1829, Kiai Maja, pimpinan sepiritual pemberontakan berhasil ditangkap. Kemudian panglima pernagnya satu-persatu menyerahkan diri termasuk Sentot Prawirodirjo.
Diponegoro sendiri akhirnya tertangkap di Magelang pada 25 Maret 1830. Penyergapan diponegoro terjadi saatia menerima tawaran perundingan dari Jendral De Kock. Rampung perundingan , diponegoro langsung diciduk lalu dibuang ke Sulawesi penangkapan ini menjadi akhir peranng jawa.
Namun bagi pemerintah belanda perang melawan Pangeran Diponegara merupakan pertempuran terberat selama menjajah nusantara. Dalam peranga ini banyak jatuh korban berjatuhan baik dari pihak Belanda maupun pribumi. Dokumen-dokumen Belanda menyebutkan ada sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terrenggut. Sementara itu ada 8000-an serdadu belanda  tewas. Dari cerita diatas sudah selayaknya kita bersyukur, dan mengisi kemerdekaan ini dengan pembanguna bangsa !

Kerajaan Mataram Islam


Sejarah Kerajaan Mataram Islam
Kerajaan Mataram mulai berdiri tahun 1582, terletak di daerah Kota Gede sebelah tenggara kota Yogyakarta,  kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan yang mengklaim masih keturunan penguasa Majapahit.
Sejarah Kerajaan Mataram Islam
Sejarah Kerajaan Mataram Islam
Asal usul kerajaan ini adalah berasal dari sebuah kadipaten dibawah Kesultanan Pajang (Sultan hadiwijaya), berpusat di Bumi Mentaok yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya mengalahkah Arya Penangsang, selanjutnya Ki Ageng Pemanahan mulai membangun Mataram sebagai tempat pemukiman baru dan persawahan, akan tetapi kehadiranya didaerah ini dan usaha pembangunanya mendapatkan tanggapan penguasa setempat, misalnya Ki Ageng Giring, Ki Ageng Tembayat dan Ki Ageng Mangir. Akan tetapi ada sebagian pejabat yang memberi sambutan baik akan hal itu seperti Ki Ageng Karanglo, walaupun demikian Ki Ageng Pemanahan tetap melakukan pembangunan didaerah tersebut yang berpusat di Plered dan juga mempersiapkan strategi untuk menundukkan siapa saja yang mementang kehadiranya.

Tahun 1575 Ki Ageng Pemanahan meninggal dunia dan digantikan oleh putranya bernama Sutawijaya atau Pangerang Ngabehi Loring Pasar, selain beliau bertekad melanjutkan mimpi ayahandanya, dia pun bercita-cita untuk membebaskan diri dari kekuasaan Pajang, sehingga hubungan antara Mataram dan Pajang pun mulai memburuk hingga berujung peperangan. Dalam peperangan ini Kerajaan Pajang mengalami kekalahan dan Sultan Hadiwijaya meninggal.

Kemudian Sutawijaya mengangkat dirinya menjadi raja Mataram dengan gelar panembahan senopati. Ia mulai membangun kerajaanya dan memindahkan pusat pemerintahan di Kotagede.

Pada tahun 1590 kerajaan Mataram menaklukan Madiun, Jipang, Kediri  kemudian melanjutkan dengan menaklukan Pasuruan dan Tuban.

Sebagai raja islam yang baru beliau mempunyai tekad untuk menjadikan Mataram menjadi pusat budaya dan agam Islam, sebagai penerus kesultanan Demak.

Kerajaan Mataram Islam saat itu menganut system  Dewa – Raja. Yang berarti kekuasaan tertinggi mutlak berada pada Sultan.

Sultan Wijaya meninggal  dan dimakamkan di Kotagede dan digantikan putranya bernama Mas jolang yang bergelar Prabu Hanyokrowati, pada masa ini tidak banyak mengalami kemajuan dikarenakan beliau meninggal karena kecelakaan saat berburu dihutan krapyak yang kemudian digantikan putra keempatnya yang bergelar Adipati Martoputro, akan tetapi karena Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf  maka tahta beralih ke putra sulung Mas jolang yang bernama  Raden Mas Rangsang, pada masa ini kerajaan mataram mengalami kemajuan dan mengalami masa keemasan.

Setelah menaklukan Madura beliau mengganti “panembahan” dengan “Sesuhunan (sunan) kemudian  menggunakan gelar “Susuhunan Hanyakrakusuma” terakhir tahun 1640 sehabis dari Makkah beliau menyandang gelar “Sultan Agung Senopati Ing Alaga Abdurrahman“ dan beliau memindahkan lokasi kraton ke “Karta “akibat terjadi gesekan penguasaan perdagangan antara Mataram dan VOC yang berpusat di Batavia.

Setelah Sultan Agung meninggal, digantikan putra beliau “Sesuhunan Amangkurat 1, beliau memindahkan lokasi kraton ke Pleret pada tahun 1647 tidak jauh dari “Karta”selain itu beliau juga tidak lagi menggunakan gelar sultan melainkan Sunan (Sesuhunan atau yang pertuan)   pada masa ini kerajaan Mataram kurang stabil karena banyak ketidak puasan dan pemberontakan, pada masanya terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh seorang bangsawan dari Madura bernama Trunajaya yang  akhirnya berhasil mengalahkan Mataram, Amangkurat 1 melarikan diri dan meningga dalam pelarianya yaitu di Tegalarum (1677) sehingga mendapat julukan Sunan Tegalarum, kemudian diganti oleh putranya Amangkurat II, beliau bergabung dengan VOC untuk mengalahkan  pasukan Trunajaya dan akhirnya berhasil .

Dalam masa ini Amangkurat II sangat patuh kepada VOC sehingga menimbulkan ketidak puasan dikalangan istana dan akhirnya banyak pemberontakan terjadi lagi. Pada masa ini keraton Mataram dipindahkan ke Kartasura ( 1680 ).

Setelah Amangkurat II meninggal diganti Amangkurat III, tetapi VOC tidak senang dengan Amangkurat III karena dia menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I sebagai raja, akibatnya Mataram memiliki dua raja dan inilah yang menjadikan perpecahan Internal, Amangkurat III akhirnya memberontak tapi akhirnya kalah dan ditangkap di Batavia lalu diasingkan di Ceylon, Srilanka.dan meninggal tahun 1734.

Kekacauan politik dari masa kemasa akhirnya dapat terselesaikan pada masa Pakubuana III  setelah wilayah Mataram dibagi menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Suarakarta  tanggal 13 Februari 1755, pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Gayanti, perjanjian Giyanti adalah kesepakatan yang dibuat oleh pihak VOC,  pihak Mataram (diwakili oleh Pakubuwana III) dan kelompok pangeran Mangkubumi. Nama Giyanti diambil dari lokasi penjanjian tersebut (ejaan Belanda, sekarang tempat itu berlokasi didukuh Kerten, Desa Jantiharjo) ditenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah, perjanjian ini menandai berakhirnya kerajaan Mataram yang sepenuhnya independen. Berdasarkan perrjanjian ini wilayah Mataram terbagi menjadi dua, wilayah disebelah timur kali Opak dikuasai oleh pewaris tahta Mataram yaitu Sunan Pakubuwana III dan tetap berkedudukan di Surakarta, sementara wilayah disebelah barat diserahkan kepada  Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwono I yang berkedudukan di Yogyakarta.

Perpecahan terjadi lagi dengan munculnya Mangkunegara (R.M Said) yang terlepas dari kesunanan Surakarta dan Pakualaman (P. Nata Kusuma), dan keempat pecahan Mataram Kesultanan Mataram tersebut masih melanjutkan dinasti masing–masing, bahkan pecahan Mataram tersebut terutama kesultanan Yogyakarta masih cukup besar dan diakui masyarakat.

KERAJAAN TIDORE


Tidore merupakan salah satu pulau kecil yang terdapat di gugusan kepulauan Maluku Utara, tepatnya di sebelah barat pantai pulau Halmahera. Sebelum Islam datang ke bumi Nusantara, pulau Tidore dikenal dengan nama; “Limau Duko” atau “Kie Duko”, yang berarti pulau yang bergunung api. Penamaan ini sesuai dengan kondisi topografi Tidore yang memiliki gunung api –bahkan tertinggi di gugusan kepulauan Maluku– yang mereka namakan gunung “Kie Marijang”. Saat ini, gunung Marijang sudah tidak aktif lagi. Nama Tidore berasal dari gabungan tiga rangkaian kata bahasa Tidore, yaitu : To ado re, artinya, ‘aku telah sampai’.

Sejarah Kejayaan Kesultanan Tidore
Sejarah Kejayaan Kesultanan Tidore
Kesultanan Tidore adalah kerajaan Islam yang berpusat di wilayah Kota Tidore, Maluku Utara, Indonesia sekarang. Pada masa kejayaan Kesultanan Tidore (sekitar abad ke-16 sampai abad ke-18), kerajaan ini menguasai sebagian besar Halmahera selatan, Pulau Buru, Ambon, dan banyak pulau-pulau di pesisir Papua barat.

Sejak awal berdirinya hingga raja yang ke-4, pusat kerajaan Tidore belum bisa dipastikan. Barulah pada era Jou Kolano Balibunga, informasi mengenai pusat kerajaan Tidore sedikit terkuak, itupun masih dalam perdebatan. Tempat tersebut adalah Balibunga, namun para pemerhati sejarah berbeda pendapat dalam menentukan di mana sebenarnya Balibunga ini. Ada yang mengatakannya di Utara Tidore, dan adapula yang mengatakannya di daerah pedalaman Tidore selatan.

Pada tahun 1495 M, Sultan Ciriliyati naik tahta dan menjadi penguasa Tidore pertama yang memakai gelar Sultan. Saat itu, pusat kerajaan berada di Gam Tina. Ketika Sultan Mansyur naik tahta tahun 1512 M, ia memindahkan pusat kerajaan dengan mendirikan perkampungan baru di Rum Tidore Utara. Posisi ibukota baru ini berdekatan dengan Ternate, dan diapit oleh Tanjung Mafugogo dan pulau Maitara. Dengan keadaan laut yang indah dan tenang, lokasi ibukota baru ini cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai. Sultan Mansur dari Tidore menerima Spanyol sebagai sekutu untuk mengimbangi kekuatan Kesultanan Ternate saingannya yang bersekutu dengan Portugis. Setelah mundurnya Spanyol dari wilayah tersebut pada tahun 1663 karena protes dari pihak Portugis sebagai pelanggaran terhadap Perjanjian Tordesillas 1494, Tidore menjadi salah kerajaan paling independen di wilayah Maluku. Terutama di bawah kepemimpinan Sultan Saifuddin (memerintah 1657-1689), Tidore berhasil menolak pengusaan VOC terhadap wilayahnya dan tetap menjadi daerah merdeka hingga akhir abad ke-18.

Dalam sejarahnya, terjadi beberapa kali perpindahan ibukota karena sebab yang beraneka ragam. Pada tahun 1600 M, ibukota dipindahkan oleh Sultan Mole Majimo (Ala ud-din Syah) ke Toloa di selatan Tidore. Perpindahan ini disebabkan meruncingnya hubungan dengan Ternate, sementara posisi ibukota sangat dekat, sehingga sangat rawan mendapat serangan. Pendapat lain menambahkan bahwa, perpindahan didorong oleh keinginan untuk berdakwah membina komunitas Kolano Toma Banga yang masih animis agar memeluk Islam. Perpindahan ibukota yang terakhir adalah ke Limau Timore di masa Sultan Saif ud-din (Jou Kota). Limau Timore ini kemudian berganti nama menjadi Soa-Sio hingga saat ini.

KERAJAAN KALINGGA


Sejarah Kerajaan Kalingga

Kisah daerah

Terdapat kisah yang berkembang di Jawa Tengah utara mengenai seorang Maharani legendaris yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kebenaran dengan keras tanpa pandang bulu. Kisah legenda ini bercerita mengenai Ratu Shima yang mendidik rakyatnya agar selalu berlaku jujur dan menindak keras kejahatan pencurian. Ia menerapkan hukuman yang keras yaitu pemotongan tangan bagi siapa saja yang mencuri. Pada suatu ketika seorang raja dari seberang lautan mendengar mengenai kemashuran rakyat kerajaan Kalingga yang terkenal jujur dan taat hukum. Untuk mengujinya ia meletakkan sekantung uang emas di persimpangan jalan dekat pasar. Tak ada sorang pun rakyat Kalingga yang berani menyentuh apalagi mengambil barang yang bukan miliknya. Hingga tiga tahun kemudian kantung itu disentuh oleh putra mahkota dengan kakinya. Ratu Shima demi menjunjung hukum menjatuhkan hukuman mati kepada putranya, dewan menteri memohon agar Ratu mengampuni kesalahan putranya. Karena kaki sang pangeranlah yang menyentuh barang yang bukan miliknya, maka sang pangeran dijatuhi hukuman dipotong kakinya

Carita Parahyangan

Berdasarkan naskah Carita Parahyangan yang berasal dari abad ke-16, putri Maharani Shima, Parwati, menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Mandiminyak, yang kemudian menjadi raja kedua dari Kerajaan Galuh. Maharani Shima memiliki cucu yang bernama Sanaha yang menikah dengan raja ketiga dari Kerajaan Galuh, yaitu Brantasenawa. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732 M).

Setelah Maharani Shima meninggal di tahun 732 M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram, dan kemudian mendirikan Dinasti/Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.

Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Kemudian Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran.

Pada abad ke-5 muncul Kerajaan Ho-ling (atau Kalingga) yang diperkirakan terletak di utara Jawa Tengah. Keterangan tentang Kerajaan Ho-ling didapat dari prasasti dan catatan dari negeri Cina. Pada tahun 752, Kerajaan Ho-ling menjadi wilayah taklukan Sriwijaya dikarenakan kerajaan ini menjadi bagian jaringan perdagangan Hindu, bersama Malayu dan Tarumanagara yang sebelumnya telah ditaklukan Sriwijaya. Ketiga kerajaan tersebut menjadi pesaing kuat jaringan perdagangan Sriwijaya-Buddha

Berita Cina


Berita keberadaan Ho-ling juga dapat diperoleh dari berita yang berasal dari zaman Dinasti Tang dan catatan I-Tsing.

Catatan dari zaman Dinasti Tang

Cerita Cina pada zaman Dinasti Tang (618 M - 906 M) memberikan tentang keterangan Ho-ling sebagai berikut.
  • Ho-ling atau disebut Jawa terletak di Lautan Selatan. Di sebelah utaranya terletak Ta Hen La (Kamboja), di sebelah timurnya terletak Po-Li (Pulau Bali) dan di sebelah barat terletak Pulau Sumatera.
  • Ibukota Ho-ling dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tonggak kayu.
  • Raja tinggal di suatu bangunan besar bertingkat, beratap daun palem, dan singgasananya terbuat dari gading.
  • Penduduk Kerajaan Ho-ling sudah pandai membuat minuman keras dari bunga kelapa
  • Daerah Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak dan gading gajah.
Catatan dari berita Cina ini juga menyebutkan bahwa sejak tahun 674, rakyat Ho-ling diperintah oleh Ratu Hsi-mo (Shima). Ia adalah seorang ratu yang sangat adil dan bijaksana. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Ho-ling sangat aman dan tentram.

Catatan I-Tsing


Catatan I-Tsing (tahun 664/665 M) menyebutkan bahwa pada abad ke-7 tanah Jawa telah menjadi salah satu pusat pengetahuan agama Buddha Hinayana. Di Ho-ling ada pendeta Cina bernama Hwining, yang menerjemahkan salah satu kitab agama Buddha ke dalam Bahasa Cina. Ia bekerjasama dengan pendeta Jawa bernama Janabadra. Kitab terjemahan itu antara lain memuat cerita tentang Nirwana, tetapi cerita ini berbeda dengan cerita Nirwana dalam agama Buddha Hinayana.

Prasasti

Prasasti peninggalan Kerajaan Ho-ling adalah Prasasti Tukmas. Prasasti ini ditemukan di ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang di Jawa Tengah. Prasasti bertuliskan huruf Pallawa yang berbahasa Sanskerta. Prasasti menyebutkan tentang mata air yang bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan dengan Sungai Gangga di India. Pada prasasti itu ada gambar-gambar seperti trisula, kendi, kapak, kelasangka, cakra dan bunga teratai yang merupakan lambang keeratan hubungan manusia dengan dewa-dewa Hindu.

Sementara di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, ditemukan Prasasti Sojomerto. Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuna dan berasal dari sekitar abad ke-7 masehi. Prasasti ini bersifat keagamaan Siwais. Isi prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya, Dapunta Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Prof. Drs. Boechari berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu.

Kedua temuan prasasti ini menunjukkan bahwa kawasan pantai utara Jawa Tengah dahulu berkembang kerajaan yang bercorak Hindu Siwais. Catatan ini menunjukkan kemungkinan adanya hubungan dengan Wangsa Sailendra atau kerajaan Medang yang berkembang kemudian di Jawa Tengah Selatan.